Thursday, November 25, 2010

Akapela di sana sini

Seperti yang tukang oceh sebut di beberapa tulisan sebelumnya, tukang oceh sempat merantau ke negeri orang dan merasakan indahnya dunia ketika banyak orang bernyanyi akapela *lebay*. Postingan ini akan mengicau sedikit mengenai kondisi perakapelaan dunia (saaaah, kayak ngerti aja...), berbagai festival dan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan akap

Di workshop hari minggu kemarin, Nick-nya TION bilang, akapela bukanlah musik mainstream (dan itulah mengapa saya cinta akapela!). Di negeri kangguru, peminatnya ga banyak, penikmatnya pun terbatas. Beda dengan di negeri paman sam atau benua Eropa. Tiap bulan ada saja festival akapela atau kompetisi akapela (MAU NONTOOONNN T___T). Di negeri paman sam contohnya, ada kompetisi akapela tahunan yang disebut Harmony Sweepstake. Stasiun TV NBC pun meluncurkan acara pencarian bakat grup akapela bernama "The Sing-Off". Tidak cuma kompetisi, festival akapela pun banyak, seperti Sing Strong, Los Angeles A cappella Festival, atau SoJam. Festival ini tidak hanya berisi konser, tapi juga kompetisi akapela (biasanya level SMA atau collegiate) dan master class. Isi master class-nya pun seru-seru, seperti aransemen lagu, ngebeat-box yang asik dan cihuy, aksi panggung, teknik penggunaan mikrofon, dsb.

Benuar eropa pun tak mau kalah. Dengan sejarah musik choral yang begitu mengakar, tidak heran kalau akapela berkembang sangat pesat di sana. Ada London A Cappella Festival, Vokalarm (di norwegia), International A Cappella Contest in Leipzig, dan banyak lagi. Intinya, tiap tahun bertebaran festival ataupun kompetisi akepela untuk berbagai kategori umur di wilayah eropa - amerika utara. Namun berdasarkan informan dalam (sebut saja penyanyi tenor TION), pada tahun 2008, The Real Group (TRG) membuat festival akapela, The Real A Cappella Festival. Walaupun sudah dimotori TRG yang namanya sudah sangat mapan di dunia perakapelaan pun, festival ini ternyata masih kekurangan dana banyak (dan TRG sendiri yang harus menutupi kekurangan itu). Intinya, festival-festival akapela ini masih membutuhkan dukungan dana yang cukup besar. Jika dilihat peminat kurang atau dianggap kurang komersil, dijamin sponsor pun akan seret.

Bagaimana dengan benua Asia? Tidak usah jauh2, di negera tetangga kita, Singapura, mereka punya International A cappella Festival yang pernah diikuti oleh Jamaica Cafe. Festival ini didukung oleh The A Cappella Society, komunitas pecinta akapela di Singapura. Korea Selatan sudah dikenal sebagai salah satu negara yang peminat akapelanya cukup banyak. Terbukti dengan keberadaan "Enjoy the Feast of A Cappella" sebagai bagian dari Korea International Music Festival 2010. Tapi yang lebih seru lagi adalah Jepang. Dengan kompetisi pencarian bakat grup akapela Hamonep di FujiTV, serta festival tahunan Kansai A Cappella Jamboree, Jepang bisa disebut sebagai salah satu negara paling aktif dalam perakapelaan di Asia.

Bagaimana dengan Indonesia? Hmmm.....? Ha? Akapela? Apa itu? Yang kaya nasyid itu bukan?

Berbeda dengan negara-negara lain, musik akapela Indonesia banyak tumbuh dari komunitas rohani. Sebut saja Gradasi, Snada, Raihan, atau yang akhir-akhir ini makin sering muncul, Justice Voice (maaf, kalau agama lain tukang oceh kurang mafhum). Tentu karakternya beda dengan akapela lain di dunia. Pertama, yang lebih dipentingkan di tim akapela rohani adalah pesan dari lagunya, bukan dari aransemen atau teknik vokalnya (beda dengan contohlah The Real Group yang vokalnya meliuk sana sini). Opsi lagunya yang dibawakan juga pastinya lebih terbatas. Tapi di sisi lain, penikmatnya jadi lebih luas, karena dinikmati bukan hanya penyuka akapela, tapi khalayak umum yang memang ingin mendengarkan karena ingin mendapat pesan dari lagunya. Satu hal yang kurang saya paham adalah saya belum pernah ketemu tim nasyid yang ada anggota wanitanya. Ada yang bisa mencerahkan untuk isu yang satu ini?

Bagaimana dengan festival akapela di Indonesia?

"In a far far away...."

Satu hal lagi, saya lihat akapela di sini juga dimaknai sebagai paduan suara tanpa iringan. Tentu ini benar sekali. 100% benar. Tapi untuk akapela dalam arti kelompok kecil 3-8 orang yang biasanya ada perkusi vokalnya? Tampaknya kurang begitu populer. Selain dari sektor religius, dari sektor lain saya baru menemukan Penta Boyz dan Jamaica Cafe untuk tim akapela di Indonesia. Ada satu kelompok yang sangat seru, Acapella Mataraman. Dari video yang tukang oceh lihat di youtube, mereka menggunakan media suara dalam format akapela untuk menirukan bunyi-bunyian, mendukung aksi treatikal yang dinamis dan lucu :) Tentu saja mereka pun mengangkat tradisi lokal ke budaya musik tanpa iringan ini.

Jadi intinya? Bentuk musik tanpa iringan masih butuh apresiasi dari masyarakat lebih luas, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai pelosok bumi. Suara manusia adalah instrumen paling sensitif (batuk dikit suaranya ilang XD), tapi paling luas opsi eksplorasinya. Suara bisa jadi drum, gitar listrik, insturmen big band, bahkan gamelan. Dengan opsi begitu luas, kenapa akapela justru tidak populer? Padahal bernyanyi akapela menunjukkan kekuatan iman dan kebulatan tekad penyanyi andal (lha wong ga ada instrumen, jadi gampang fals. Kalau iman ga kuat, ya bablasss). Akapela juga menunjukkan solidaritas dan kerja sama tim yang kuat. Lalu, kenapa tidak banyak orang mengapresiasi akapela?

Hmm, saya bingung, kamu pun bingung.

Tapi yang jelas, saya menantikan suatu festival akapela di Indonesia, dimana semua kelompok akapela bisa tampil, dari genre dan latar belakang religi apapun. Kapankah itu bisa terlaksana?

No comments:

Post a Comment